Pada tahun ini, perang Rusia-Ukraina memicu gelombang pengungsi baru. Susan dari Jerman, Bapak Faisal Hu, serta insan Tzu Chi dari Inggris, Prancis, dan negara-negara Eropa lainnya bersama-sama membuat perencanaan untuk menyalurkan bantuan. Relawan Tzu Chi tersebar di seluruh dunia. Menurut pandangan Tzu Chi, kita semua adalah satu keluarga.
Para relawan mengajari para penerima bantuan lagu yang berjudul “Satu Keluarga”. Kita semua harus saling membantu tanpa memandang negara asal dan agama karena kita adalah satu keluarga. Para relawan bersumbangsih dengan cinta kasih yang tulus. Lihatlah, bukankah semua orang di dunia ini adalah satu keluarga? Karena memiliki cinta kasih yang sama, para relawan dapat bersatu.
Banyak orang berkumpul menjadi satu dengan tekad yang sama. Ini disebut bersatu. Kita semua mengenal istilah “he he hu xie”. Aksara “he” pertama memiliki arti bersatu hati. Aksara “he” kedua berarti harmonis. Selain itu, aksara “xie” berarti gotong royong. Jadi, kita harus bersatu hati, harmonis, bergotong royong, dan saling mengasihi. Inilah tekad semua insan Tzu Chi. Dengan pemikiran seperti ini, orang tak akan memandang perbedaan negara dan agama.

Saya juga sangat bersyukur kepada direktur misi amal yang memiliki pandangan global. Mengenai bagaimana menjalankan penyaluran bantuan, bagaimana bekerja sama dengan organisasi lain, berapa jumlah barang bantuan yang akan disalurkan, berapa banyak kartu belanja yang akan diberikan, beliau selalu membuat strategi yang memudahkan para penerima bantuan. Mereka dapat membeli sesuai kebutuhan mereka. Mereka juga dapat pergi ke mana pun tanpa perlu membawa banyak barang sekaligus. Jadi, saya sangat bersyukur dan tenang.
Dapat dilihat bahwa pada gelombang pengungsi kali ini, asalkan dapat dijangkau relawan Tzu Chi, para pengungsi akan mendapatkan bantuan dan merasakan sukacita. Insan Tzu Chi yang berseragam biru putih berkumpul dari berbagai negara. Meski terkendala bahasa, tetapi mereka berpegang pada tekad yang sama sehingga dapat saling bekerja sama dengan harmonis dan saling berinteraksi dengan penuh cinta kasih. Saya sangat terharu.

Dibutuhkan kebijaksanaan bagi insan Tzu Chi untuk menolong sesama yang dalam penderitaan, membangkitkan rasa sukacita dalam hati mereka, serta membimbing mereka untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. Inilah kebijaksanaan insan Tzu Chi. Mereka membimbing orang-orang dari berbagai agama. Saya sangat bersyukur.
Kemarin, Bapak Trinh dan Bapak Huang yang duduk di sebelah saya melakukan telekonferensi dengan para relawan di Eropa. Di mana pun mereka berada, gambar mereka dapat terlihat pada layar putih yang di hadapan saya. Mereka tetap dapat mendengar suara saya secara langsung. Di sana, mereka juga bisa menari dengan gembira dan berpelukan dengan para pengungsi. Singkat kata, tak peduli bagaimanapun situasinya dan peran apa yang mereka mainkan, Bodhisatwa dunia memainkan peran mereka dengan baik. Mereka memberikan harapan bagi dunia, memberikan kehangatan dan penerangan, dan membuat para pengungsi menerima bantuan tanpa tekanan, serta mengajak mereka untuk berinteraksi dengan gembira tanpa ada diskriminasi. Semua ini membuat saya sangat tersentuh.

Selama lebih dari 20 tahun ini, saya sangat berterima kasih kepada Bapak Faisal Hu. Meski beliau adalah umat Islam, tetapi juga merupakan insan Tzu Chi. Beliau menyebarkan semangat Tzu Chi tanpa membedakan agama. Dengan status sebagai anggota lembaga swadaya masyarakat internasional, beliau memberi perhatian kepada nenek tersebut dan mewujudkan harapannya dengan mendatangi rumahnya untuk melakukan telekonferensi. Ini adalah bentuk cinta kasih.
Cinta kasih tidak mengenal batasan negara ataupun agama. Berkat jalinan kasih dari para relawan selama 20 tahun lebih, cinta kasih tersebar luas di seluruh dunia.