“Pada tahun 2004, dari Pelabuhan Taichung, 2,5 juta karung beras yang beratnya mencapai 50 ribu ton dikirimkan ke Indonesia. Saat itu, para relawan Tzu Chi dan relawan komunitas sangat antusias. Semua orang turut berpartisipasi untuk berbuat baik. Berhubung waktu sangat terbatas, banyak orang yang tangannya sampai memar,” kata Huang Zhi-qing, relawan Tzu Chi.

“Kini, 20 tahun telah berlalu, tetapi saya masih mendengar para relawan kita mengenang dan membahas hal ini. Mereka takjub akan jalinan jodoh yang dimiliki saat itu untuk membantu mengangkut beras yang akan dikirimkan ke Indonesia. Ini membangkitkan welas asih dan menyentuh hati banyak orang,” lanjut Huang Zhi-qing.

Kalian hendaknya lebih sering berbagi pengalaman untuk meninggalkan sejarah. Saat itu, Indonesia sangat membutuhkan bantuan. Kalian harus meninggalkan sejarah.

“Master, tahun lalu, Master berpesan pada saya untuk menyerap Dharma ke dalam hati dan menggenggam jalinan jodoh. Sungguh, ajaran Master sangat sederhana dan bermanfaat. Tim komisaris kehormatan juga mengajak para pengusaha untuk berpartisipasi dalam kegiatan kami,” pungkas Huang Zhi-qing.

“Saya sangat gembira Kakak A-qing mengundang saya untuk datang hari ini. Ini untuk kedua kalinya saya bertemu dengan Master. Saya pertama kali bertemu Master pada tahun 2017. Saat itu, Kakak Fang mengajak para pemilik usaha bakeri untuk membuat kue berbentuk buah persik. Setiap kali Taiwan dilanda bencana, Kakak Fang selalu bersumbangsih dengan kesungguhan hati. Beliau terus membuat dan menyediakan roti bagi yang membutuhkan,” kata Huang Ji-xiong, pengusaha.

“Saat Hualien diguncang gempa bumi, demi membantu Hualien, beliau juga mengadakan pekan raya dan mengajak para pemilik usaha bakeri di seluruh Taiwan untuk mengikuti bazar. Saya merasa bahwa beliau bukan berusaha untuk mengembangkan bisnisnya, melainkan berusaha untuk menolong lebih banyak orang. Beliau telah menginspirasi banyak pemilik usaha bakeri. Karena itulah, di bidang kami juga terdapat banyak anggota komisaris kehormatan dan relawan Tzu Chi,” lanjut Huang Ji-xiong.

“Hari ini adalah pertama kalinya saya datang ke sini dan para relawan berkata, ‘Selamat pulang.’ Saya merasa heran dan berpikir, ‘Mengapa disebut pulang?’ Ternyata, itu karena kita semua adalah satu keluarga,” pungkas Huang Ji-xiong.

Saya sangat tersentuh.

Bodhisatwa sekalian, yang terpenting dari cinta kasih ialah bertahan selamanya dan tulus. Hati yang tulus adalah hati yang penuh rasa syukur. Setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan. Pada dasarnya, kita memiliki hati yang tulus. Saya bersyukur kepada para Bodhisatwa di Changhua yang begitu bersungguh hati dan berdedikasi.

Setiap kali berkunjung ke Changhua, saya selalu menanti untuk mendengar para relawan kita berbagi tentang bagaimana mereka mengenal Tzu Chi dan menjalankan Tzu Chi dengan cara yang sederhana dan selaras dengan nilai budaya humanis Tzu Chi. Sungguh, saat datang ke sini, saya selalu merasa tenang. Budaya humanis yang sederhana dapat menenangkan hati orang-orang. Hal yang harus kita lakukan masih sangat banyak.

Saya masih ingat dahulu, saat mengunjungi warga kurang mampu, ayah Wang Shou-rong adalah kepala sekolah sekaligus anggota komite Tzu Chi. Saat pergi ke Taitung, saya selalu menginap di rumah mereka. Ayahnya mendedikasikan diri di Tzu Chi dengan tulus dan sukarela. Semangat dan keteladanan beliau sungguh menyentuh.

Shou-rong bersekolah di wilayah barat Taiwan. Setelah lulus, dia membina keluarga dan meniti karier di Chiayi. Dia adalah benih pertama Tzu Chi di Chiayi. Saat itu, ketika saya pergi ke Chiayi untuk melakukan survei kasus, hanya ada dia yang mendampingi. Dia biasanya mengendarai sepeda motor.

Bagi orang yang membutuhkan ataupun penerima bantuan bulanan kita, dia selalu mengantarkan barang bantuan ke rumah mereka. Dengan sepeda motornya, dia harus bolak-balik tiga hingga lima kali karena wilayahnya sangat luas dan dia harus mengantarkannya dari rumah ke rumah. Teringat akan masa lalu, insan Tzu Chi sungguh telah mewariskan semangat dan filosofi Tzu Chi dalam keluarga.

“Sejak kecil, saya mengikuti orang tua saya berpartisipasi dalam kegiatan Tzu Chi. Namun, saat itu saya belum memahami maknanya. Hingga tahun 2023, saat berpartisipasi dalam pementasan adaptasi Sutra, saya baru benar-benar merasakan bahwa Master sungguh bersusah payah dan tanpa pamrih,” kata Lu Cai-yu, relawan Tzu Chi.

“Saya mulai berpikir, ‘Mengapa Master harus begitu bersusah payah? Bisakah saya meringankan sedikit beban Master?’ Saya membulatkan tekad untuk tak hanya mengikuti arus, melainkan sungguh-sungguh mendedikasikan diri dan mengemban tanggung jawab bersama yang lain. Dilantik hanyalah permulaan dari mengemban tanggung jawab, tetapi saya tidak sendirian di jalan ini,” lanjut Lu Cai-yu.

“Saya memiliki ajaran Master, dukungan orang tua, pendampingan para paman dan bibi Tzu Chi, dan sekelompok relawan muda yang memiliki kesatuan tekad dan jalan dengan saya. Saya juga berharap saya dapat menginspirasi lebih banyak orang untuk bergabung dengan Tzu Chi dan menjadi penerus cinta kasih,” pungkas Lu Cai-yu.

Menginspirasi orang lain sangat mudah, tetapi membimbing keluarga sendiri tidaklah mudah. Saat menjalankan Tzu Chi, kalian sering menghabiskan waktu di luar. Keluarga kalian mungkin akan mengeluh bahwa kalian selalu menghabiskan waktu di luar. Itu akan menjadi rintangan bagi mereka sehingga mereka tidak mendukung kalian.

Namun, asalkan bersedia mendukung, mereka dapat terus memberikan kekuatan pada kalian. Karena itulah, saya sering berkata bahwa kita harus membina berkah dan kebijaksanaan sekaligus. Kita membina berkah ke luar dan membina kebijaksanaan ke dalam. Menginspirasi anggota keluarga untuk mendukung, membantu, dan mendampingi kalian, ini membutuhkan kebijaksanaan.

Mendapat persetujuan, bantuan, dan pendampingan keluarga membutuhkan kerja keras. Ini tidaklah mudah. Sepertinya kalian semua telah berhasil melakukannya. Ini berarti mewariskan permata dalam keluarga. Mewariskan permata dari generasi ke generasi berarti mewariskan berkah kepada anak cucu. Saya sungguh sangat tersentuh dan bersyukur. Intinya, Tzu Chi membutuhkan kalian.

Saya selalu mendengar relawan kita berkata bahwa mereka membutuhkan saya. Saya tahu. Namun, kalian harus memahami hukum alam. Ini tidak terhindarkan. Sesuai hukum alam, ada lahir pasti ada mati. Jadi, ada pembentukan, keberlangsungan, kerusakan, dan kehancuran. Buddha memberi tahu kita tentang kalpa. Kalpa adalah waktu yang sangat panjang.

Kehidupan manusia sangatlah singkat. Jika dihitung dengan detik, satu hari terdiri atas berapa detik? (86.400 detik.) Meski satu detik adalah waktu yang sangat singkat, tetapi sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Dahulu, saya mengimbau orang-orang untuk mendonasikan 50 sen setiap hari demi menolong sesama. Kini, kita dapat menyalurkan bantuan bencana internasional.

Tzu Chi dapat menjangkau dunia internasional sekarang berkat akumulasi donasi kecil dari banyak orang. Demikianlah materi terakumulasi sedikit demi sedikit. Sesungguhnya, waktu pun terakumulasi sedikit demi sedikit. Karena itu, janganlah kita meremehkan satu detik.

Selamanya meneladan hati Bodhisatwa dengan tulus
Melakukan praktik nyata yang selaras dengan budaya humanis yang sederhana
Mewariskan semangat dalam keluarga untuk membina berkah dan kebijaksanaan
Memupuk kebajikan hingga memperoleh pencapaian dalam pelatihan diri