“Saat saya berkata kepada warga yang datang bahwa di dalam amplop ada uang tunai, mereka langsung berkata, ‘Terima kasih, terima kasih.’ Ada pula yang berkata, ‘Saya sungguh berterima kasih pada kalian. Saat ini, Taiwan juga mengalami kesulitan karena gempa bumi di Hualien. Namun, di tengah kesulitan ini, kalian tetap bersedia datang untuk membantu kami. Kami sungguh sangat berterima kasih’,” kata Megumi Mita relawan.
“Mendengar ucapan terima kasih dari setiap orang, hati saya tentu merasa penuh kehangatan. Namun, di sisi lain, saya juga merasa sedih karena rumah mereka telah roboh. Mereka telah kehilangan harta kekayaan mereka, bahkan ada yang kehilangan anggota keluarga. Meski kini mereka memiliki tempat tinggal sementara yang tidak dikenakan biaya untuk dua tahun pertama, tetapi dua tahun kemudian, apakah mereka sudah bisa membangun kembali rumah mereka? Tidak ada yang tahu,” lanjut Megumi Mita.
“Tzu Chi membagikan dana bantuan dengan harapan dapat mengurangi kegelisahan warga dan membantu mereka secara nyata. Saya sangat bersyukur kepada Tzu Chi yang memberi saya kesempatan untuk bersumbangsih sebagai relawan,” pungkas Megumi Mita.
“Saat berakhirnya pembagian dana bantuan hari terakhir di Wajima pada pukul 4, ada dua orang nenek dengan tubuh bungkuk berjalan menghampiri kami demi sekali lagi mengucapkan terima kasih banyak pada semua orang. Semua orang sangat gembira. Saya bahkan meneteskan air mata. Ini menandakan bahwa cinta kasih Tzu Chi telah meresap ke dalam hati warga. Semoga benih-benih yang ditabur di dalam hati ini dapat berbunga suatu hari nanti,” kata Ai Tanaka relawan.
Saya sangat bersyukur kepada kalian yang pergi untuk menenangkan hati warga. Saya sungguh sangat bersyukur. Ini merupakan pembagian dana bantuan gelombang ketiga. Kita telah menjalin jodoh baik dengan mereka. Dana bantuan yang kita bagikan tidaklah banyak, tetapi kehangatan yang kalian berikan sangatlah berlimpah. Saya yakin bahwa kehangatan ini sangat bermanfaat bagi mereka. Karena itulah, saya bersyukur pada kalian.
“Ini untuk pertama kalinya saya berpartisipasi dalam penyaluran bantuan internasional. Jika mengambil cuti terlalu lama, saya merasa tidak enak hati terhadap rekan kerja saya. Saya lalu berdiskusi dengan bos saya dan beliau berkata, ‘Pergilah. Ini adalah hal baik.’ Mendapat dukungan dari bos saya, saya pun mengambil cuti dan pergi ke sana,” kata Xu Ya-shan relawan Tzu Chi.
“Pada hari pertama pembagian dana bantuan, saya melihat banyak orang yang mengantre dan menantikan kami. Saya sungguh merasa tidak sampai hati. Hari kedua sangat panas dan hari ketiga turun hujan deras yang disertai angin kencang. Kami semua basah kuyup, terlebih warga setempat. Saya merasa sangat tidak tega. Selain itu, lantai juga sangat licin,” lanjut Xu Ya-shan.
“Kebetulan, saya bertemu seorang nenek yang tubuhnya bungkuk karena osteoporosis. Saya lalu bertanya padanya, ‘Di manakah Anda tinggal? Apakah Anda tinggal bersama anggota keluarga lain?’ Beliau menjawab bahwa beliau hidup sebatang kara. Saya sungguh tidak tega mendengarnya. Saya yakin bahwa ada banyak orang seperti ini di sana,” pungkas Xu Ya-shan.
Tidak mudah bagi kalian untuk pergi ke Jepang karena kalian harus meluangkan waktu dan mengemban tanggung jawab besar. Intinya, saya bersyukur kepada kalian. Yang terpenting, kalian telah mengatasi banyak kesulitan dan bersedia bersumbangsih dengan cinta kasih. Saya sangat bersyukur kepada kalian yang telah kembali. Kepada yang akan pergi ke sana, saya juga bersyukur kalian bersedia bersumbangsih. Semoga kalian aman dan selamat serta kembali dengan sukacita setelah bersumbangsih.
Tentu saja, di daerah bencana, kita turut merasakan kepedihan dan penderitaan para korban bencana. Kita bukan pergi ke sana untuk berwisata. Bagaimana hendaknya sikap kita saat bersumbangsih? Apakah tujuan kita? Kita hendaknya bersumbangsih dengan rasa syukur, rasa hormat, dan cinta kasih. Inilah yang sering saya katakan.
Kita hendaknya bersyukur memiliki kesempatan untuk melihat penderitaan, menyadari berkah, dan menyaksikan ketidakkekalan yang sering diulas dalam ajaran Buddha. Bukankah gempa bumi menunjukkan ketidakkekalan? Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Baik detik ini, detik berikutnya, maupun detik sebelumnya, setiap detik sangatlah singkat. Akan tetapi, ketidakkekalan yang datang dalam sekejap dapat meninggalkan luka batin yang bertahan selamanya. Contohnya, kehilangan orang-orang yang disayangi. Inilah ketidakkekalan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada detik berikutnya.
Buddha mengajari kita untuk menggenggam waktu yang ada. Jika kita menabur benih sekarang, kelak pasti akan ada kondisi pendukung yang membuat benih ini berbuah. Kita bisa melihat kondisi korban bencana di Jepang. Mereka memang sangat tegar, tetapi kondisi mereka benar-benar sulit. Saat melihat warga lansia setempat, kita juga merasa tidak sampai hati.
Saat menyalurkan bantuan, kita selalu menunjukkan rasa hormat, tata krama, dan rasa empati kita. Saya sangat bersyukur pada kalian yang bersungguh hati membentangkan jalan cinta kasih di sana. Kita hendaknya membentangkan jalan yang rata di sana. Dengan adanya jalinan jodoh ini, adakalanya, kita bisa berinteraksi dengan warga lewat panggilan telepon.
Saya berharap kita dapat menabur benih kebajikan di sana. Semoga di sana, kita juga dapat menginspirasi orang menapaki jalan yang sama dengan kita. Kita harus menginspirasi warga setempat untuk menabur lebih banyak benih kebajikan. Jadi, perhatikanlah kondisi mereka dari waktu ke waktu. Demikianlah kita mempraktikkan cinta kasih berkesadaran, memperpanjang jalinan kasih sayang, dan memperluas cinta kasih agung.
Bumi hanya ada satu, sedangkan orang yang menderita sangatlah banyak. Dunia ini memang penuh dengan penderitaan. Karena itu, baik di jalan besar maupun kecil, kita hendaknya selalu menyebarkan ajaran Buddha. Dunia ini membutuhkan ajaran Buddha. Kini, saya juga sangat berharap kita dapat membawa manfaat bagi sesama dengan welas asih.
Guru saya berkata, “Menyucikan hati adalah prioritas pertama, membawa manfaat bagi sesama adalah yang utama.” Ini merupakan pesan yang guru saya berikan. Saat saya bertemu dengan guru saya, yang pertama beliau katakan pada saya ialah “demi ajaran Buddha, demi semua makhluk”. Pertama kali saya bertemu dengannya dan bersujud di hadapannya, beliau berkata, “Kita memiliki jalinan jodoh yang istimewa. Ingatlah untuk berjuang demi ajaran Buddha dan semua makhluk.”
Saya telah berjuang seumur hidup untuk beberapa kata yang sederhana ini, tetapi belum sepenuhnya mewujudkannya. Saya selalu bekerja keras untuk mewujudkan pesan guru saya ini. Demi mewujudkan pesannya ini, saya sangat bekerja keras. Biasanya, saya jarang bepergian. Meski bepergian, saya tidak pernah meninggalkan Taiwan. Jadi, saya tidak pergi ke tempat lain, hanya melakukan perjalanan keliling Taiwan. Saya sangat bersyukur memiliki jalinan jodoh baik ini.
Para insan Tzu Chi selalu saling memotivasi untuk bersumbangsih bagi masyarakat dan dunia. Saya berharap insan Tzu Chi dapat mempraktikkan Dharma di dunia untuk menginspirasi lebih banyak orang bersumbangsih bagi orang-orang yang kekurangan dan menderita. Kita juga harus memahami bahwa Buddha bukan mengajari kita untuk mengejar pencapaian pribadi, melainkan membawa manfaat bagi semua makhluk. Inilah prioritas kita.
Menghibur dan menenangkan korban bencana dengan lemah lembut
Melihat penderitaan, menyadari berkah, dan bersumbangsih dengan cinta kasih berkesadaran
Menggenggam waktu yang ada untuk menabur benih kebajikan
Menyucikan hati, membawa manfaat bagi sesama, dan meneruskan jalinan jodoh Dharma