Dalam hidup ini, saat ada yang membutuhkan, kita harus segera bangkit dan bergerak. Di mana pun orang membutuhkan, kita harus bertindak. Dalam kebaktian pagi dan malam, kita selalu memberikan penghormatan kepada Buddha, Junjungan Di Antara Yang Berkaki Dua. Kita harus tahu untuk membina berkah.
Pada langkah pertama, kita membina berkah; pada langkah berikutnya, kita membina kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, kita akan tahu untuk menciptakan berkah. Dengan menciptakan berkah, kita dapat menumbuhkan kebijaksanaan. Maju selangkah demi selangkah dengan mantap, inilah yang disebut tekun dan bersemangat.
Dengan cinta kasih yang murni tanpa noda dan pikiran yang bebas dari pikiran pengganggu, kita bersumbangsih tanpa pamrih. Inilah yang disebut bebas dari ketamakan. Kita bersumbangsih dengan pikiran yang murni tanpa tujuan terselubung. Kita bersumbangsih tanpa mengharapkan balasan. Kita bukan menciptakan berkah demi memohon berkah ataupun berharap memperoleh 10 kali lipat dari apa yang telah kita berikan.
Dahulu, saat membabarkan Sutra, demikianlah saya mendorong orang-orang untuk membuka pintu hati dan menolong sesama. Dengan membuka pintu hati, kita dapat membuka pintu kebajikan dan menapaki jalan kebajikan. Janganlah kita hanya berjalan beberapa langkah di jalan ini. Di jalan ini, kita harus terus melangkah dan belajar untuk menciptakan berkah yang tak terhingga.
Jika ingin menciptakan banyak berkah, kita harus terus melangkah maju. Makin jauh kita melangkah, makin indah pemandangan yang terlihat, makin teguh tekad pelatihan kita, dan makin bertumbuh jiwa kebijaksanaan kita. Jangan memperhitungkan berapa banyak yang kita peroleh. Yang perlu kita lakukan hanyalah melangkah, bersumbangsih, dan memberi. Jadi, untuk menyebarkan Dharma, kita cukup bersumbangsih dengan tulus.
Bukalah pintu kebajikan dan bersumbangsih dengan sukacita. Jadi, kita harus bersumbangsih dengan sukacita. Namun, saat bersumbangsih, apakah kita memiliki pamrih? Apakah para Buddha dan Bodhisatwa benar-benar memberikan berkah seperti yang diminta? Tidak. Kita harus bersumbangsih. Dengan bersumbangsih tanpa pamrih, barulah kita bisa mencapai eksistensi ajaib. Kita harus bersumbangsih tanpa pamrih hingga hati kita dipenuhi rasa sukacita.
Kita hendaknya dipenuhi sukacita dalam Dharma. Hanya bersukacita tidaklah cukup, kita juga harus menyerap Dharma ke dalam hati. Saat hati kita dipenuhi sukacita dalam Dharma, kita tidak akan memiliki pamrih. Memahami Dharma membuat hati kita dipenuhi sukacita. Saat hati dipenuhi rasa sukacita, itulah berkah yang sesungguhnya. Dengan bersumbangsih tanpa pamrih, kita baru bisa merasakan sukacita dalam Dharma.
Contohnya, topan kali ini telah mendatangkan dampak yang serius. Bagai Bodhisatwa yang bermunculan dari dalam bumi, semua orang segera bergerak untuk membantu. Ini membuat saya merasa sangat tenang. Saya pun yakin bahwa meneruskan jiwa kebijaksanaan Tzu Chi tidaklah masalah.
Para bhiksuni Griya Jing Si meneruskan silsilah Dharma. Setiap pagi, mendengar mereka berbagi pengalaman, saya juga merasa sangat tenang. Terhadap kondisi kehidupan masyarakat, mereka juga sangat peduli. Karena itulah, mereka dapat berbagi tentang apa yang mereka lihat dan apa yang mereka rasakan. Saya pun makin tenang. Sepertinya semua akan baik-baik saja meski saya tidak ada. Jadi, makin jauh saya berjalan, makin banyak yang bisa saya lepas dan hati saya makin tenang.
Di dunia ini, tiada orang yang tidak saya kasihi. Saya yakin bahwa semua orang di seluruh dunia akan diliputi cinta kasih. Di dunia ini, tiada orang yang tidak saya maafkan. Sesungguhnya, saya bersyukur kepada setiap orang. Karena itu, tentu tidak ada yang tidak saya maafkan. Di dalam hati saya, tidak ada yang perlu dimaafkan. Saya tidak menyimpan masalah apa pun di dalam hati. Jadi, apa yang perlu dimaafkan?
Saya tak pernah terlibat konflik dengan siapa pun. Setiap orang membawa manfaat bagi saya. Tidak peduli baik ataupun buruk, semuanya membantu saya memahami hal-hal di dunia. Saat saya menghadapi kesulitan, orang-orang memberikan dukungan pada saya. Meski ada orang yang berprasangka buruk terhadap saya dan menyampaikan ketidaksenangannya, saya tetap bersyukur.
Ego mereka yang besar membuat mereka sulit menerima pandangan orang lain. Ini mengingatkan saya bahwa dalam melatih diri, kita tidak boleh membesarkan ego. Kita harus terus-menerus mengecilkan ego kita. Ada eksistensi ajaib di balik kekosongan sejati. Saat saya mengecilkan ego hingga orang-orang tidak merasakan keberadaan saya, maka tidak ada saya pun tidak masalah. Dharma telah saya wariskan dan kalian mewarisinya dengan tenang.
Bodhisatwa sekalian, kita harus menginventarisasi kehidupan diri sendiri. Namun, ingatlah bahwa kita melakukan inventarisasi bukan demi membesarkan ego, melainkan memahami Dharma yang menakjubkan. Di balik kekosongan sejati, terdapat eksistensi ajaib. Jika bisa memahami hakikat kekosongan, barulah kita bisa mencapai eksistensi ajaib. Eksistensi ajaib ini sering saya sebut sebagai kesadaran kesembilan.
Kita hendaknya mencapai kesadaran kesembilan, bukan hanya kesadaran kedelapan. Kesadaran kedelapan hanya menyimpan ingatan. Kita harus memasuki kesadaran kesembilan dengan bersumbangsih tanpa pamrih dan membawa sukacita Dharma bagi orang-orang. Kita sendiri mencapai eksistensi ajaib dan orang-orang merasakan sukacita dalam Dharma. Inilah kekosongan sejati dan eksistensi ajaib. Dengan memahami prinsip kekosongan sejati, barulah kita bisa mencapai eksistensi ajaib dan bersumbangsih dengan sukacita.
Membina berkah dan kebijaksanaan dalam setiap langkah
Bersumbangsih tanpa pamrih dengan langkah yang mantap
Membuka pintu kebajikan untuk menolong semua makhluk
Mewariskan silsilah Dharma Jing Si