“Kami merangkul nenek yang menangis ini. Dia ingin Tzu Chi membantu menantu perempuannya. Menantunya terluka karena mesin perontok. Putranya datang ke kantor kita dan mengajukan permohonan bantuan medis. Dengan kondisi pembuluh darah dan saraf kaki sang menantu yang terluka, dia perlu dirujuk ke Kathmandu dan suaminya harus ikut untuk menjaganya. Ini persis seperti yang dahulu Master lihat di Hualien, keluarga pasien harus mendampingi pasien berobat ke Taipei sehingga kehilangan penghasilan di Hualien,” kata Chen Ji-min relawan Tzu Chi.
“Dokter Nirdesh dan Dokter Zhuang terus mengikuti perkembangan kasus ini. Hari itu, mereka juga pergi ke Kathmandu untuk menjenguknya di rumah sakit. Berhubung lukanya sangat parah, akhirnya kakinya diamputasi,” pungkas Chen Ji-min.
Mereka yang terlahir di sana sungguh tidak berdaya. Namun, kalian pergi ke sana demi menjalankan ikrar. Ini tidaklah sama. Saya sering mengulas tentang sebab dan akibat. Sebagaimana benih yang ditabur, demikianlah buah yang akan dituai.
Bodhisatwa muncul karena adanya makhluk yang menderita. Kalian bertekad untuk mempelajari praktik Bodhisatwa sehingga memiliki jalinan jodoh untuk menjangkau orang-orang yang menderita dan menyadari betapa besarnya berkah yang dimiliki diri sendiri. Kalian bisa menyadari berkah setelah melihat penderitaan. Jalinan jodoh berkahlah yang membawa kalian ke tempat yang dilanda penderitaan sehingga kalian dapat memahami penderitaan orang-orang.
“Di Lumbini, kami menggalakkan ‘Satu Desa Satu Xieli’ dengan harapan dapat membina benih-benih Bodhi dan berbagi ajaran Master dengan warga setempat. Awalnya, kami mungkin melakukannya sekali dalam sebulan. Kemudian, kami menyebarkan Dharma setiap hari,” kata Su Qi-feng relawan Tzu Chi.
“Ketiga orang ini adalah guru budaya humanis. Saya sering berkata pada mereka bahwa kita harus terjun ke tengah masyarakat seperti Pangeran Siddhartha. Selain menyebarkan Dharma agar warga memperoleh kedamaian batin dan kebahagiaan serta terbebas dari penderitaan dan kegelapan batin, kita juga harus meneladan Pangeran Siddhartha yang menenteramkan fisik semua makhluk. Contohnya, saat kita menjangkau pedesaan dan melihat warga yang menderita,” kata Li Jin-yu relawan Tzu Chi.
“Saya yakin bahwa pada lebih dari 2.500 tahun yang lalu, saat melihat orang-orang menderita, Pangeran Siddhartha tidak mungkin pergi begitu saja. Beliau pasti memberikan penghiburan dan berusaha untuk menolong mereka. Karena itulah, kita harus meneladan Pangeran Siddhartha. Saya bersyukur saat ada yang membutuhkan bantuan medis dan amal, tim medis dan amal kita akan menerima laporan. Kemudian, tim amal dan medis kita akan bekerja sama untuk memberikan bantuan,” pungkas Li Jin-yu.
Setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan, yaitu hati yang murni seperti anak-anak. Berhubung bertekad untuk mencapai pencerahan, kita harus menapaki jalan ini agar dapat memahami kebenaran.
“Nenek kurang mampu ini membuat kami sangat terharu. Meski tidak memiliki uang, beliau meminta beras dari orang lain dan menyisihkannya ke dalam celengan beras. Kami sangat terkejut karena isi celengan berasnya tidak sedikit. Celengan berasnya terisi penuh. Beliau yakin bahwa menolong sesama akan membuat seseorang bahagia. Inilah kebahagiaan yang sesungguhnya,” kata Huang Xiao-qing relawan Tzu Chi.
“Dia berkata bahwa saat semua orang membangkitkan niat baik dan menyisihkan beras ke dalam celengan beras setiap hari, desa mereka akan memiliki lapisan pelindung. Inilah yang diajarkan oleh Master. Warga lain pun mulai terinspirasi untuk melakukan hal yang sama,” pungkas Huang Xiao-qing.
Kita bisa melihat bahwa nenek kurang mampu itu telah kembali pada hati yang murni seperti anak-anak. Ada pula seorang kakek yang tadinya adalah seorang pengemis. Setelah melihat Bodhisatwa, dia juga bisa bersumbangsih bagi sesama.
Setelah mendengar Dharma, dia juga memahami hukum sebab akibat. Dia tahu bahwa untuk mempraktikkan kebajikan, dia harus menapaki Jalan Bodhisatwa. Untuk kembali pada hati yang murni seperti anak-anak, dia tahu bahwa dia harus belajar. Karena itulah, dia bertekad untuk bersumbangsih dan bergabung menjadi relawan. Jadi, yang dibutuhkan hanyalah ketulusan.
Saya sering berkata bahwa kita harus tulus. Kalian memiliki jalinan jodoh berkah. Saya tidak bisa pergi ke Nepal, tetapi kalian bisa. Saya sungguh bersyukur pada kalian. Kalian pergi untuk mewujudkan ikrar saya dan menabur benih kebajikan. Kini, kalian telah menginjakkan kaki di Nepal dan bersungguh hati menabur benih di sana. Kita juga harus rutin menyiramnya.
Tanpa air hujan atau embun, benih yang kalian tabur akan mengering di bawah terik matahari. Benih-benih itu bukan membusuk, melainkan hancur atau mengering. Jika demikian, kita tidak bisa membimbing orang-orang dengan Dharma. Jadi, membimbing orang membutuhkan jalinan jodoh. Karena itu, saya sangat bersyukur pada kalian.
Warga setempat telah menerima Dharma yang kalian bagikan. Setiap orang memiliki jalinan jodoh masing-masing. Kalian juga hendaknya menggenggam jalinan jodoh. Kita semua dipenuhi rasa sukacita. Jika tidak mengenal saya, kalian tidak akan bergabung dengan Tzu Chi. Setelah bergabung dengan Tzu Chi, kalian menggenggam waktu untuk bersumbangsih, bahkan bersedia menempuh perjalanan panjang dan bertahan di tengah kondisi yang serbasulit, seperti cuaca yang sangat panas.
Di sana, meski kalian menginap di hotel, fasilitas yang ada juga sangat terbatas karena hotel setempat sangat sederhana. Di rumah masing-masing, kalian mungkin mengupah orang untuk mencuci baju dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Di sana, kalian membantu warga setempat mencuci baju. Ini sungguh mengagumkan.
Dunia ini membutuhkan tindakan yang menakjubkan. Kalian bertekad dan berikrar untuk terjun ke tengah masyarakat guna melenyapkan penderitaan. Melihat makhluk lain menderita, Bodhisatwa bersedia melenyapkan penderitaan mereka. Ini adalah kisah nyata, bukan sekadar cerita. Di kehidupan sekarang, saya telah melihat Bodhisatwa dari sepuluh penjuru dunia. Setiap kali pulang pergi, kalian harus menempuh jarak sekitar 7.000 kilometer. Ini sungguh tidak mudah.
Kalian hendaknya menghitung jarak tempuh kalian. Namun, ini bukan berarti bersikap perhitungan. Pahala yang kalian ciptakan tak terhingga. Angka sebesar apa pun ada batasnya. Kita hendaknya terus bersumbangsih dan menciptakan pahala tak terhingga. Saya selalu berada di Taiwan, sedangkan kalian bisa pergi ke mana-mana, lalu kembali ke sini.
Setiap hari, dengan segenap jiwa dan raga, kalian menapaki Jalan Bodhisatwa. Kalian berulang kali melakukan perjalanan ke luar negeri dengan tekad dan ikrar yang teguh. Ini sungguh tidak mudah. Selain itu, kalian juga benar-benar bersyukur kepada penerima bantuan. Dengan tulus, kalian bersyukur pada mereka. Tanpa mereka, kalian tidak akan memiliki kesempatan untuk bersumbangsih dan merasa puas. Jadi, kita merasa puas dan bahagia dengan mempraktikkan Jalan Bodhisatwa yang merupakan jalan kebenaran.
Umat Buddha pada umumnya hanya mendengar Dharma, tetapi kalian mempraktikkan Dharma. Dharma hendaknya dipraktikkan. Karena itulah, saya sering berkata bahwa kita menapaki jalan yang dibentangkan dengan Sutra. Kita bukan hanya menyebarkan Dharma, melainkan mempraktikkannya secara nyata hingga merasa tersentuh.
Menapaki Jalan Bodhisatwa berkat adanya jalinan jodoh
Menyadari berkah setelah melihat penderitaan dan membangkitkan Bodhi
Mempelajari kebenaran dengan hati yang murni seperti anak-anak
Merasa bahagia dan bersyukur dengan mempraktikkan Dharma