“Pasien kasus ini mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu. Dia berjalan dengan cara seperti ini,” kata salah seorang relawan Tzu Chi.

“Adakalanya, saya harus minum obat pereda nyeri empat hingga lima kali dalam sehari. Rasanya sangat menyakitkan hingga saya merasa seolah-olah akan mati,” kata Soni Praveen warga.

“Ketika dia baru berusia 3 bulan, kami menyadari bahwa dia tidak bisa melihat. Namun, keluarga kami tidak memiliki uang untuk mengobatinya. Kami hanya bisa membiarkannya sehingga kondisinya makin memburuk,” kata Muslim Minya Kakak Soni Praveen.

Lihatlah, penderitaan ada di mana-mana. Bagaimana kita dapat membuat orang-orang memahami cara untuk terbebas dari penderitaan? Bagaimana kita mengajarkan hal ini kepada orang-orang? Pada zaman Buddha, Beliau juga tidak tahu harus menggunakan cara seperti apa. Satu-satunya cara, Beliau harus mencari kebenaran. Namun, dari mana Beliau harus memulai? Beliau tahu bahwa yang dibutuhkan ialah kebenaran, tetapi tidak tahu harus memulainya dari mana. Jadi, Beliau berpikir untuk menjauhi keramaian dan meninggalkan keluarga-Nya.

Beliau berusaha menenangkan batin demi menemukan jalan kebenaran yang sesungguhnya. Untuk itu, Beliau meninggalkan istana. Beliau menjalani pertapaan dan tidak makan selama rentang waktu tertentu yang menyebabkan tubuh-Nya menjadi sangat lemah. Beliau tidak mampu bertahan dan pingsan di tepi Sungai Nairanjana. Kemudian, datanglah seorang perempuan penggembala. Kita semua sudah tahu bagaimana ceritanya.

Saat itu, gembala perempuan ini melihat seorang petapa dan mempersembahkan susu kambing kepada-Nya. Berkat persembahan makanan darinya, Beliau dapat memulihkan tenaga. Beliau mencari sebatang pohon dan duduk di bawahnya. Intinya, Beliau berusaha menenangkan pikiran setiap hari.

Dalam proses memperoleh ketenangan pikiran, Beliau juga mengalami pergolakan tubuh dan batin. Kita sering mendengar istilah menaklukkan Mara. Menaklukkan Mara berarti saat tubuh dan batin Buddha telah mencapai titik tertentu akibat menahan rasa lapar yang ekstrem dan hanya meminum semangkuk susu kambing yang dipersembahkan gembala perempuan setiap hari untuk menjaga kekuatan tubuh-Nya, 49 hari kemudian, sebelum hari terang, Buddha melihat sebuah bintang yang terang di langit malam. Ini seharusnya terjadi pada waktu subuh, yakni ketika hari masih belum terang.

Saat itu, Beliau perlahan-lahan membuka mata dan melihat dari kejauhan ada sebuah bintang di langit. Setelah melihat bintang tersebut, hati-Nya menjadi sangat tenang dan damai. Pikiran dan hati yang jernih ini terhubung dengan cahaya bintang tersebut. Setelah mata-Nya melihat cahaya bintang, tubuh dan pikiran-Nya mencapai kemurnian dan tiba-tiba bersinar terang. Beliau menyatu dengan seluruh alam semesta. Jadi, batin-Nya menyatu dengan cahaya bintang itu sehingga Beliau merasa tenang dan damai.

Bintang yang bersinar terang dan alam semesta telah menyatu dengan tubuh dan pikiran-Nya. Jadi, dengan kebijaksanaan-Nya, tiada kebenaran alam semesta yang tidak Buddha ketahui atau pahami. Seketika itu, Beliau mencapai pencerahan. Sebelum mencapai pencerahan, Beliau melakukan pertapaan dan harus menahan penderitaan tubuh dan batin. Namun, pada akhirnya, Beliau tercerahkan dan menyatu dengan segala sesuatu di alam semesta. Ini bukanlah suatu hal yang biasa. Jadi, membangkitkan kesadaran tidaklah mudah.

Dalam satu atau dua tahun ini, saya selalu mengatakan bahwa saya ingin berkontribusi bagi kampung halaman Buddha. Apa yang kita peroleh dari kampung halaman Buddha? Bukan materi, melainkan nilai spiritual yang sangat besar. Kita semua sedang mempelajari Dharma. Ketika berbicara, saya sering mengutip ajaran Buddha. Ajaran ini berasal dari Pangeran Siddhartha. Setelah mencapai pencerahan, Beliau menggunakan kebijaksanaan-Nya untuk membabarkan Dharma. Jadi, di dalam Tripitaka tersimpan kebijaksanaan yang diwariskan oleh para guru besar.

Sejak Buddha mencapai pencerahan, ajaran-Nya diwariskan oleh para guru besar dari generasi ke generasi. Mereka menuliskan dan mewariskan kitab suci serta menerjemahkannya ke dalam bahasa Tionghoa. Ini telah dimulai sejak Buddha mencapai pencerahan pada lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Beberapa ratus tahun kemudian, Raja Asoka membantu penyebaran Dharma. Beliau mengumpulkan para guru besar Dharma untuk menuliskan dan menerjemahkan kitab suci.

Seiring berlalunya waktu, banyak kisah yang menggugah hati tentang para guru besar yang menjaga dan mewariskan Dharma hingga sekarang. Seiring bergulirnya waktu dari zaman Buddha hingga zaman kemajuan teknologi saat ini, ajaran Buddha dapat tersebar hingga ke Taiwan. Karena itu, kita ingin berkontribusi bagi kampung halaman Buddha. Sekarang, kita memiliki relawan di Nepal dan India untuk menjalankan berbagai misi Tzu Chi.

Bodhisatwa sekalian, setelah mendengar dan memahami hal ini, kalian sekarang mengetahui tentang jalan ini. Kalian tahu bahwa jalan ini kembali pada kampung halaman Buddha. Untuk bisa kembali ke “kampung halaman Buddha”, kita harus menapaki Jalan Bodhisatwa. Dari tataran awam ke tataran kebuddhaan, terdapat Jalan Bodhisatwa di tengahnya. Jalan Bodhisatwa ini bisa dilalui. Sebagai makhluk awam, kita harus menapaki Jalan Bodhisatwa hingga kita mencapai pencerahan.

Kita bersumbangsih bagi orang-orang yang menderita di kampung halaman Buddha demi mengubah kehidupan mereka. Kita melangkah dengan mantap untuk mengubah kehidupan orang-orang di sana dengan membimbing warga setempat untuk membantu sesama di komunitas mereka. Inilah cara kita menggunakan Dharma untuk mengubah kehidupan orang-orang di kampung halaman Buddha. Asalkan memiliki tekad, kita pasti bisa melakukannya.

Melakukan pertapaan demi mencari jalan kebenaran yang sesungguhnya
Memandang bintang terang di langit malam dan mencapai pencerahan
Menapaki Jalan Bodhisatwa untuk kembali ke kampung halaman Buddha
Mempraktikkan ajaran dan memutar roda Dharma