Apa kabar, Bhiksuni dan Bodhisatwa sekalian? Waktu berlalu dengan cepat. Acara Pemberkahan Akhir Tahun tahunan kembali digelar. Di Kaohsiung, ada beberapa relawan yang sangat senior, seperti Bapak Lin Yong-xiang.

Beberapa hari lalu, saya melihatnya dan teringat bahwa dia pernah berbagi dengan saya bagaimana dia menekan bel rumah orang dan terjun ke tengah masyarakat untuk merekrut donatur serta membimbing dan mendorong para donatur agar lebih memahami Tzu Chi. Ketika jalinan jodoh sudah matang, dia pun mempromosikan mereka untuk menjadi komite atau Tzu Cheng. Seperti inilah dia membimbing orang selangkah demi selangkah.

Saya juga sangat bersyukur kepada para komite senior yang terinspirasi untuk bergabung dengan Tzu Chi dahulu. Mereka sangat tekun dalam melatih diri. Ini bagaikan sebatang pohon besar yang akarnya menghunjam ke bumi, cabangnya menjulang ke langit, bertumbuh rimbun, dan menghasilkan banyak buah. Buah-buah ini merupakan benih yang akan bertunas dan bertumbuh menjadi pohon besar yang membentuk hutan Tzu Chi. Kini hutan Tzu Chi telah terbentuk.

Setiap kali saya datang, selalu ada sekelompok Bodhisatwa lansia, paruh baya, dan muda yang menyambut kehadiran saya. Saya bisa melihat barisan yang panjang saat berjalan masuk ke dalam dari depan pintu. Mereka semua berkata, “Master, jangan khawatir. Barisan relawan telah terbentuk panjang. Kami akan bersatu hati, harmonis, saling mengasihi, dan bergotong royong. Kami juga akan meneruskan barisannya dengan mewariskan pelita hati dari satu orang ke orang lainnya.”

Sejak terinspirasi dan membangun tekad, kalian berjalan selangkah demi selangkah untuk mewujudkan ikrar kalian dan sangat dekat dengan hati saya. Kita memiliki hati dan ikrar yang sama. Jadi, orang yang terinspirasi oleh kalian juga akan memiliki hati dan ikrar yang sama.

Saya sangat berharap para relawan bisa menginventarisasi kehidupan sendiri dan mengingat kembali apa yang tersimpan dalam kesadaran kedelapan mereka. Segala sesuatu tidak bisa dibawa pergi, hanya karma yang selalu menyertai. Karma apakah yang menyertai kita? Sebelum mendengar Dharma dan bergabung dengan Tzu Chi, kita hidup di tengah ketidaktahuan. Seberapa sering kita bertikai, bersikap perhitungan, dan terlibat dalam konflik dengan orang lain?

Sebelum bergabung dengan Tzu Chi dan mengenal ajaran Buddha, mungkin kita masih terlibat dalam konflik dan diliputi kegelapan batin. Kegelapan batin mulai terbentuk dan menumpuk di dalam kesadaran keenam dan ketujuh serta tersimpan di dalam kesadaran kedelapan. Dari kehidupan ke kehidupan, noda dan kegelapan batin ini tidak lenyap, malah menumpuk.

Saat kita mengenal ajaran Buddha, kita merasakan sukacita dan membangun tekad untuk bersumbangsih. Namun, begitu kita bertemu hal-hal yang tidak sesuai keinginan dan tidak menyenangkan, noda batin mulai terbangkitkan. “Saya tidak mau bersumbangsih lagi. Saya juga tidak mau melatih diri lagi.” Jika noda dan kegelapan batin timbul, itu disebut kebocoran. Ajaran baik dan ajaran Buddha di dunia akan mulai bocor atau menghilang. Bagaimana seharusnya kita bersikap agar bisa berinteraksi secara harmonis dengan orang lain dan membuat jalan yang kita lalui menjadi mulus?

Noda batin yang terbangkitkan akan mendatangkan rintangan batin bagi kita. Terkadang jika jalan tidak rata, kita akan terjatuh saat berjalan. Setelah terjatuh dan bangun lagi, kaki kita mungkin terasa sakit sehingga kita enggan berjalan lagi. Lalu, ada mitra bajik yang menyemangati kita bahwa kita sudah dekat dengan tempat tujuan dan tinggal maju beberapa langkah lagi. Dia menggandeng kita untuk berjalan bersamanya. Ini sama seperti kisah dalam bab Kota Bayangan dari Sutra Bunga Teratai.

Kita terus melangkah maju untuk mencapai tempat tujuan kita. Namun, meski kita terus berjalan, tempat tujuan kita tetap sangat jauh. Lalu, ada seorang pembimbing yang memberi tahu kita bahwa dahulu dia memberi kita kereta kambing dan kereta rusa. Untuk perjalanan terakhir, kita diberi kereta lembu putih. Lihat, kita sudah berjalan begitu jauh. Jika kita berjalan kembali, jalan kita akan penuh rintangan. Jika berjalan kembali, akan makin sulit bagi kita untuk melangkah maju. Jadi, kita beristirahat sebentar di sini. Setelah memulihkan tenaga, baru kita berangkat lagi.

Tempat tujuan kita sudah dekat. Sungguh, coba kita pikirkan. Kita tidak boleh menyerah. Tempat tujuan kita sudah dekat. Saya sendiri juga merasa lelah. Setelah bekerja keras selama lebih dari 50 tahun, saya sudah lemah secara fisik dan batin. Fisik saya sudah sangat lelah. Namun, teringat bahwa saya belum sampai di tempat tujuan di kehidupan ini, saya pun membangun ikrar untuk mencapainya di kehidupan mendatang. Sekarang saya masih bagaikan kereta kambing. Saya berikrar untuk tidak menjadi kereta kambing lagi. Di kehidupan mendatang, saya hendak menjadi kereta rusa.

Bodhisatwa sekalian, kita yang terlahir di dunia ini bagaikan kereta kambing. Kita hendaknya berikrar untuk menjadi kereta rusa, bahkan berikrar untuk membimbing diri sendiri dan orang lain dengan menjadi kereta lembu putih. Kita semua hendaknya berikrar dan memulai langkah kita untuk membentuk barisan kereta lembu putih yang panjang guna membimbing semua makhluk menapaki Jalan Bodhisatwa. Dalam perjalanan kali ini, inilah yang terus saya serukan.

Tahun ini saya masih sanggup keluar, tetapi sanggupkah saya keluar lagi tahun depan? Tidak tahu. Jadi, kita semua harus menggenggam setiap saat yang ada, jangan menyia-nyiakan setiap niat yang terlintas di pikiran, dan berusaha menapaki Jalan Bodhisatwa. Ini adalah doa saya untuk kalian semua.

Terjun ke tengah masyarakat untuk membimbing orang lain
Pohon-pohon bertumbuh rimbun hingga membentuk hutan Bodhi
Melenyapkan kegelapan dan noda batin
Mempraktikkan ikrar agung dan gigih melatih diri