Bodhisatwa sekalian, dalam cuplikan ini, kita dapat memahami tentang perumpamaan rumah yang terbakar di dalam Sutra Bunga Teratai. Benar. Kehidupan kita bagaikan berada di dalam rumah yang terbakar. Ada kebakaran yang merupakan bencana alam, api peperangan yang disebabkan oleh ulah manusia, dan ada pula api kegelapan batin manusia. Semua itu merupakan bencana.

Terkadang, saya merasa bahwa dibandingkan dengan manusia, Bumi benar-benar luas dan tak terbatas. Banyak orang berpikir bahwa Bumi itu luas. Jadi, di mana pun terjadi bencana, mereka menganggap itu tidak ada hubungannya dengan mereka. Demikianlah pikiran makhluk awam yang tersesat dan tak kunjung sadar.

Di mana pun ada bencana, mereka berpikir bahwa itu tidak ada hubungannya dengan mereka. Kekuatan mereka sangatlah kecil. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Jadi, mereka memiliki keakuan dan keinginan yang tak terpuaskan. Mereka berpikir bahwa semua bencana tidak ada hubungannya dengan mereka. Mereka hanya peduli dengan apa yang mereka butuhkan. Mereka menginginkan materi yang dapat mereka lihat, ketenaran yang diinginkan, orang-orang atau benda yang dikasihi, lingkungan hidup yang baik, dan sebagainya.

Apa pun yang mereka sukai, mereka ingin memilikinya. Mereka menyukai semua materi yang ada. Sesungguhnya, seberapa banyak yang bisa mereka raup ketika membuka kedua tangan mereka? Bahkan, ketika kedua tangan telah meraup penuh, apakah mereka merasa puas? Tidak. Keinginan mereka tak pernah terpuaskan. Jadi, ketika mereka melihat orang lain mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka juga turut menginginkannya dan mengeluh ketika mereka tidak mendapatkannya. Demikianlah yang sering kita saksikan di dunia ini.

Ketika memandang lebih luas dan jauh, kita akan melihat bahwa banyak orang yang memiliki keinginan dan berusaha mendapatkannya dengan berebut satu sama lain. Dengan demikian, terjadilah bencana. Akibat ketamakan, kebencian, dan kebodohan, orang-orang menciptakan karma buruk, saling bertikai, dan saling menyakiti atau membunuh satu sama lain.

Isi Sutra memberi tahu kita bahwa satu-satunya cara untuk mewujudkan ketenteraman dan kedamaian di dunia di tengah kondisi lingkungan yang makin memburuk ini ialah dengan mempraktikkan pertobatan. Semua materi mengalami pembentukan, keberlangsungan, dan kerusakan. Kini, kita telah memasuki era kerusakan. Namun, banyak orang yang berpikir bahwa saat ini masih merupakan era keberlangsungan. Jadi, baik yang hidup kekurangan maupun yang kaya, ketamakan mereka pun terbangkitkan sehingga timbullah rasa ingin memiliki.

Meskipun sudah memiliki yang banyak, mereka tetap merasa tidak cukup. Mereka menginginkan banyak hal. Dengan keinginan yang tak terpuaskan, mereka mungkin berkata dengan lantang bahwa mereka berhak mendapatkan semuanya ketika mereka melihatnya. Ketika orang-orang saling berebut, kekacauan pun terjadi. Demikianlah pembentukan dan keberlangsungan.

Ketika melihat sesuatu, mereka mengklaimnya, dan bahkan terlibat dalam konflik bersenjata. Kita telah menyaksikan bagaimana orang-orang merebut apa yang bukan milik mereka dengan cara paksa sehingga terjadilah kehancuran, pembunuhan, dll. Itu sungguh sangat menakutkan. Hanya jika apa yang mereka kasihi telah dirusak, diri sendiri merasakan bahaya atau penderitaan, barulah mereka tahu untuk bertobat. Hanya jika kita semua senantiasa mempraktikkan pertobatan, barulah kita dapat saling memiliki hati yang penuh rasa empati dan cinta kasih.

Kini, mari kita menyadarkan semua orang agar dapat mawas diri, tulus, menghargai sumber daya, serta melindungi kehidupan diri sendiri, orang lain, dan semua makhluk dengan cinta kasih. Hendaklah kita sadar, mawas diri, dan membimbing diri sendiri dengan baik. Sila membuat kita mengetahui apa yang tidak boleh kita lakukan. Kita harus menunaikan tanggung jawab sendiri dan menaati norma. Demikianlah kita menaati sila.

Lihatlah makanan yang ada di piring anak-anak ini. Jika yang mereka makan adalah roti ataupun sayuran, berarti mereka telah menerapkan pola hidup yang benar. Namun, jika yang ada pada garpu mereka adalah daging hewan yang terbunuh dengan berlumuran darah, terciptalah karma buruk kolektif. Karma buruk pembunuhan yang terakumulasi seiring waktu pun akan makin berat. Baik pembunuhan terhadap hewan maupun pembunuhan antarmanusia, semua tak lepas dari hukum sebab akibat. Sama halnya dengan kebakaran hutan.

Kita mungkin merasa bahwa percikan api kecil bukanlah hal yang serius, padahal itu dapat memicu kebakaran besar. Kebakaran hutan bukan hanya membakar kulit pohon, melainkan seluruh lahan. Jika Bumi bagaikan seorang manusia dewasa, api itu bagai telah membakar seluruh tubuhnya hingga penuh luka. Bukan hanya rambut dan kulitnya yang terbakar, melainkan juga daging dan tulangnya.

Kebakaran hutan tidak hanya berdampak pada Bumi, tetapi juga terhadap manusia. Jadi, hal-hal yang senantiasa saya pikirkan sangatlah luas dan mendalam. Karena itu, saya merasakan tekanan setiap hari. Saya pun terus membayangkan, andaikan setiap orang dapat memiliki belas kasih, kesadaran, kepedulian, dan membimbing sesama dengan kekuatan cinta kasih, ketenteraman manusia dan dunia pun akan terwujud.

Makhluk awam tersesat dalam lautan nafsu keinginan
Kobaran api kegelapan batin sulit dipadamkan
Tulus mempraktikkan pertobatan
Mewujudkan ketenteraman dengan menjaga sila dan melindungi kehidupan