Baik siang maupun malam, kita bisa melihat langit yang kemerah-merahan. Di antara tujuh perumpamaan dalam Sutra Teratai, yang kondisinya paling mendesak ialah perumpamaan rumah yang terbakar. Meski rumah itu tengah terbakar, tetapi anak-anak di dalamnya masih diliputi ketidaktahuan. Meski sudah melihat kobaran api, mereka tetap bermain di dalamnya.

Mereka yang diliputi ketidaktahuan dan kebodohan masih bermain di dalamnya dan terbakar oleh api nafsu keinginan. Nafsu keinginan bagai api yang terus membara di dalam batin. Banyak orang yang diliputi ketidaktahuan seperti anak-anak itu. Orang-orang terus menyalakan api nafsu keinginan di dalam batin mereka sehingga memicu kebakaran hutan di mana-mana.

Saat kebakaran hutan terjadi di seluruh dunia, ke mana orang-orang bisa menyelamatkan diri? Karena itulah, saya sangat khawatir.

Berdasarkan penelitian para ilmuwan terhadap iklim, Bumi, udara, dan sebagainya, Bumi ini semula masih bisa tenteram selama beberapa waktu. Namun, kini jangka waktunya menjadi lebih singkat karena bencana semakin kerap terjadi dan kerusakan Bumi semakin parah.

Berhubung manusia tidak bisa mengendalikan nafsu keinginan, maka semakin banyak orang yang menciptakan karma buruk dan merusak Bumi. Aktivitas manusialah yang memicu terjadinya bencana. Kini kita bisa melihat di seluruh dunia, kebakaran, banjir, gempa bumi, dan badai sungguh membuat orang-orang tidak tenang.

Di sisi lain, kita juga melihat para insan Tzu Chi. Para relawan kita bersedia untuk menolong sesama dengan penuh cinta kasih. Mereka sungguh penuh kehangatan dan patut dipuji. Dalam menyalurkan bantuan, kita harus mengerahkan cinta kasih. Di mana pun dibutuhkan, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk bersumbangsih.

Kita bisa melihat orang-orang yang kekurangan, tetapi bersedia untuk bersumbangsih. Dengan turut bersumbangsih, mereka merasa bahwa mereka juga dapat menolong sesama dan memperoleh sukacita darinya. Rasa sukacita itu membuat mereka kaya. Jadi, kita bisa menginspirasi orang kurang mampu untuk membangkitkan kekayaan batin.

Dalam hidup ini, bagaimana agar kita bisa memperoleh sukacita dan melapangkan hati hingga seluas alam semesta?

Dalam interaksi antarmanusia, jika kita bisa saling bersyukur, menghormati, dan mengasihi, itulah kehidupan yang paling dipenuhi berkah.

Jika orang berada dapat bertekad untuk bersumbangsih, mereka dapat menolong banyak orang. Dengan upaya kecil saja, mereka dapat membawa manfaat besar. Namun, bisakah mereka melakukannya?

Meski berniat untuk bersumbangsih, adakalanya mereka menghadapi berbagai kesulitan. Meski sangat berada dan ingin bersumbangsih, mereka mungkin juga menghadapi berbagai kesulitan dan tidak semua hal berjalan sesuai keinginan.

Setelah bekerja keras seumur hidup, mereka dipenuhi berkah dan memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Namun, tidak mudah bagi mereka untuk menjalankan tekad bersumbangsih. Mereka sangat ingin bersumbangsih, tetapi tidak melakukannya. Setelah mengembuskan napas terakhir, mereka tak lagi bisa melakukannya. Demikianlah kehidupan.

Saya sering berkata bahwa kita harus menggenggam kesempatan untuk bersumbangsih. Tidak peduli besar atau kecilnya sumbangsih kita, kita sendirilah yang akan memperoleh manfaatnya. Dengan berbuat baik, kita akan dipenuhi berkah.

Orang yang menciptakan berkah akan dipenuhi berkah. Apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai. Siapa yang menabur benih, dialah yang akan menuai buahnya.

Singkat kata, kita menyadari kebenaran karena telah membangkitkan kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, barulah kita bisa menyadari kebenaran.

Saat bencana terjadi, kita harus mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan. Sebelumnya, dengan pengetahuan, kita mungkin hanya berpikir untuk menghasilkan uang. Kini kita juga harus membangkitkan kebijaksanaan untuk menolong sesama. Demikianlah kita menciptakan berkah bagi diri sendiri.

Jadi, selain mengejar karier, kita juga harus menggenggam jalinan jodoh untuk bersumbangsih dengan bijaksana.

Setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan. Kita semua bisa membangkitkan hakikat kebuddhaan kita untuk mengasihi dan menolong sesama. Inilah yang disebut terjun ke tengah masyarakat dengan hati Buddha untuk melenyapkan penderitaan.

Kita semua bisa bersumbangsih dengan hati Buddha kapan saja. Jika bisa senantiasa melakukannya dengan teguh, secara alami kita dapat mencapai kebuddhaan dan memiliki kesadaran agung.

Saudara sekalian, kita harus memiliki kesadaran agung. Apa yang disebut mencapai kebuddhaan? Kita harus membangkitkan kesadaran hakiki dan bersungguh-sungguh mencari Buddha di dalam batin kita. Untuk itu, kita harus melenyapkan nafsu keinginan dan memandang ke seluruh dunia.

Bangkitkanlah cinta kasih dan welas asih kita untuk menjangkau makhluk yang menderita. Demikianlah kita menapaki Jalan Bodhisatwa.

Di ujung Jalan Bodhisatwa ini, kita akan memperoleh sukacita dan kedamaian. Inilah yang disebut mencapai kebuddhaan.

Kita bisa menapaki Jalan Bodhisatwa kapan pun dan mencapai kebuddhaan setiap hari. Untuk itu, kita harus bersungguh-sungguh menggenggam dan memanfaatkan waktu.

Di seluruh dunia terdapat banyak penderitaan. Karena itu, kita hendaknya mengerahkan cinta kasih kita setiap waktu. Ingatlah bahwa satu hari terdiri atas 86.400 detik. Kita harus mengerahkan cinta kasih setiap detik.

Jadi, seiring berlalunya detik demi detik, kita dapat mengakumulasi cinta kasih dan niat baik. Dengan hati Bodhisatwa dan Buddha, barulah kita dapat bersumbangsih. Intinya, mari kita menggenggam waktu dan lebih bersungguh hati setiap waktu.

Perubahan iklim yang ekstrem mendatangkan banyak bencana
Berbuat baik setiap waktu untuk memupuk pahala kebajikan
Terjun ke tengah masyarakat dengan hati Buddha untuk melenyapkan penderitaan
Membangkitkan kesadaran hakiki serta melenyapkan ketamakan dan nafsu keinginan

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 19 Agustus 2021
Sumber: Lentera Kehidupan – DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 21 Agustus 2021